Homo Mimesis dan Plagiarisme
Reza A.A Wattimena
Belakangan ini Indonesia sedang dihebohkan oleh fenomena plagiarisme di dunia akademik. Fenomena yang menurut beberapa ahli merupakan puncak gunung es dari bobroknya dunia pendidikan kita. Namun sejauh ini belum ada yang mengajukan analisis cukup mendalam terhadap fenomena terebut. Para guru besar ‘terhormat’ dari berbagai perguruan tinggi masih berperan sebagai moralis yang menilai plagiarisme sebagai sebuah kejahatan. Itu sebenarnya klise.
Tentu saja penilaian itu benar. Namun ada sesuatu yang lebih mendalam di dalam fenomena tersebut, yang bercokol pada kodrat manusia itu sendiri. Alih-alih berperan menjadi moralis bagaikan malaikat agung yang menilai kejahatan para plagiat, lebih konstruktif jika kita memahami pengandaian antropologis dari plagiarisme. Dari titik ini kita bisa lebih bijak memahami gejolak jiwa para plagiat, dan tidak menghakimi sembarangan, seperti para moralis akademik yang merasa diri seperti malaikat.
Manusia sebagai Mahluk Peniru
Manusia adalah mahluk yang multidimensi. Salah satu dimensi yang tertanam di dalam kodratnya adalah hasrat untuk meniru, atau mimesis. Mimesis sendiri memiliki beragam arti, seperti imitasi, dan berbagai bentuk tindakan yang meniru suatu obyek tertentu. Dasar filosofis dari mimesi sangatlah dalam. Banyak pemikir sepanjang sejarah mencoba memahami fenomena mimesis ini. Mimesis adalah hasrat yang mendasari tindak plagiarisme.
Sebagaimana dibaca dari Wikipedia, Plato, seorang filsuf yang hidup di masa Yunani Kuno, berpendapat bahwa mimesis adalah hasrat manusia untuk meniru alam. Hasrat mimesis ini kental ditemukan pada diri penyair dan pelukis, karena mereka menjadikan alam sebagai obyek kreativitas mereka. Dengan kata lain para pelukis dan penyair meniru alam, dan mengubahnya menjadi obyek seni untuk diapresiasi. (Plato, The Republic) Apakah para pelukis ini bisa disebut plagiat alam, terutama karena mereka tidak mencantumkan catatan kaki di bawah lukisan mereka?
Murid Plato –Aristoteles- memiliki pendapat yang kurang lebih serupa dengan gurunya. Ia yakin bahwa seni merupakan mimesis dari alam. Tidak hanya itu seni merupakan representasi sekaligus penyempurnaan dari alam. Ia menyatakan dengan jelas, bahwa manusia adalah mahluk peniru (homo mimesis). Manusia didorong dari dalam dirinya untuk merefleksikan alam semesta, dan menuangkannya dalam sebuah karya, baik karya seni maupun tulisan. (Wikipedia, 2010)
Di dalam masyarakat kita terdapat pepatah bijak, bahwa orang pertama kali belajar dengan meniru. Dengan meniru orang terbantu untuk menemukan bentuk pemikirannya sendiri. Di balik pepatah tersebut terdapat pengandaian antropologis, bahwa manusia hidup dan berkembang dengan meniru. Kita berbicara, berjalan, berelasi, dan bahkan buang air dengan meniru orang-orang yang ada di sekitar kita. Manusia adalah homo mimesis. Apakah ketika kita berjalan, dan tidak mencantumkan ‘catatan kaki’ di mana kita belajar, kita disebut sebagai plagiat?
Mimesis dan Plagiarisme
Saya tidak mau membenarkan tindak plagiarisme. Tindakan tersebut jelas salah. Mengambil ide atau karya orang tanpa mencantumkan keterangan apapun jelas merupakan pelanggaran. Namun ada sisi lain yang perlu juga dilihat, yakni sisi manusiawi, terutama manusia yang memang sudah dari akarnya adalah mahluk peniru (homo mimesis). Hukuman dan pandangan terhadap para pelaku tindakan plagiarisme juga harus mempertimbangkan faktor manusiawi ini, dan tidak menjadi moralis “malaikat” yang merasa tidak punya dosa, dan berubah menjadi hakim-hakim akademik dalam sekejap mata.
Jelaslah bahwa plagiarisme adalah tindakan yang berakar pada hasrat untuk meniru. Suatu tindakan meniru tidak akan disebut plagiarisme, selama mencantumkan keterangan secukupnya dari sumber yang diacu. Yang diperlukan adalah kejelian dari memberi catatan referensi. Kegagalan memberikan referensi juga memiliki banyak motif, mulai dari ketidaktahuan (karena tidak pernah diajari-ini yang banyak terjadi di Indonesia, terutama di kalangan mahasiswa!), ketidaksengajaan, niat jahat untuk mencuri ide orang lain, atau mencari popularitas.
Berpijak pada fakta ini, maka cap plagiarisme jangan terlalu gampang diberikan. Tuduhan tersebut tidak boleh sembarangan diajukan, terutama untuk menjatuhkan nama baik, atau pembunuhan karakter. Praduga tak bersalah tetap harus diutamakan, sampai terbukti sebaliknya. Masyarakat harus berhenti menjadi hakim-hakim akademik. Para nara sumber juga harus cukup bijak mempertimbangkan fakta sederhana, bahwa manusia hidup dengan meniru, dan tindak meniru itu seringkali tidak disertai dengan referensi. Dan juga bahwa motif plagiarisme itu beragam. Dibutuhkan kebijaksanaan untuk menilai, dan bukan emosi untuk menjatuhkan reputasi orang lain.***
makasih om infonya, manfaat banget.
izin share + jadi homo mimesis dikit. hhe ^^v
SukaSuka
silahkan. Semoga berguna.
SukaSuka